JAKARTA - Polemik surat sumbangan yang diteken Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah terus bergulir bagai bola. Kini bola salju itu sampai ke telinga KPK.
KPK memberikan komentar perihal surat permintaan sumbangan bertandatangan Mahyeldi itu. Bahkan, KPK mengingatkan Mahyeldi untuk menghindari perbuatan yang tergolong gratifikasi.
"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan kepada pegawai negeri (Pn) dan Penyelenggara Negara (PN) untuk menghindari perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang dilarang," kata Plt Juru Bicara Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding kepada wartawan, Minggu (22/8/2021) dikutip dari detiknews.com
Ipi menerangkan permintaan atau pemberian sumbangan pegawai negeri untuk kepentingan pribadi maupun mengatasnamakan institusi negara merupakan perbuatan yang dilarang dan bisa berimplikasi pada tindakan korupsi. Tak hanya itu, perbuatan itupun dapat menimbulkan konflik kepentingan dan bertentangan dengan kode etik.
"Karenanya, KPK mengingatkan kepada kepala daerah maupun Pn/PN lainnya untuk tidak melakukan perbuatan meminta, memberi, ataupun menerima sumbangan, hadiah dan bentuk lainnya yang dapat dikategorikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, baik yang diberikan atau diterima secara langsung maupun yang disamarkan dalam berbagai bentuk. Perbuatan tersebut dilarang karena dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan atau kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana," ucap Ipi.
Ipi mengatakan KPK telah mengingatkan kepada pimpinan lembaga/kementerian/pemerintah daerah dan lainnya tentang surat edaran pengendalian gratifikasi. Dalam SE itu, telah tertuang larangan gratifikasi untuk mencegah terjadinya korupsi.
"KPK dalam Surat Edarannya tentang Pengendalian Gratifikasi telah mengingatkan kepada para pimpinan kementerian/lembaga/organisasi/pemerintah daerah dan BUMN/BUMD, serta pimpinan asosiasi/perusahaan/korporasi, juga seluruh pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk menghindari gratifikasi dan patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi," ujarnya.
Ipi mengatakan pegawai negeri dilarang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan serta berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Ancaman pidananya, kata Ipi, antara 4 hingga 20 tahun penjara dan denda sampai Rp 1 miliar.
"Pegawai negeri dan penyelenggara negara dilarang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tersebut dianggap pemberian suap, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidananya yaitu 4 sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp 200 Juta hingga Rp 1 miliar," ungkapnya.
Kemendagri sebelumnya bakal mengecek surat permintaan sumbangan bertanda tangan Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk penerbitan buku yang bikin heboh. Selaras dengan itu, Polri menyatakan Polda Sumbar akan menyelidiki soal surat sumbangan Gubernur Sumbar Mahyeldi.
"Polda Sumbar yang akan menyelidiki kalau memang benar peristiwa tersebut," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono saat dimintai konfirmasi, Sabtu (21/8).
Surat itu berisi permintaan sumbangan untuk penerbitan buku profil 'Sumatera Barat Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan'. Polisi kemudian mengungkapkan duit dari sumbangan itu masuk ke rekening pribadi, tanpa menyebut siapa pemilik rekening itu.
"Uang dikirim ke rekening pribadi. Itu yang menimbulkan kecurigaan, sehingga ada pihak yang melaporkan kepada kami. Lagi pula mereka membawa surat berlogo Gubernur, tapi bukan ASN atau tenaga honorer di pemda. Berbekal surat itulah mereka mendatangi para pengusaha, kampus, dan pihak-pihak lainnya untuk mencari uang," kata Kasat Reskrim Polresta Padang Kompol Rico Fernanda kepada wartawan, Jumat (20/8).
Gubernur Sumbar Mahyeldi belum memberi penjelasan soal surat itu. Dia mengelak dan memilih menjelaskan soal mobil dinas barunya yang telah diserahkan ke Satgas COVID-19. DPP PKS sudah dihubungi tapi belum ada yang bersedia memberi keterangan. (***)