PEKANBARU - Tingkat hunian kamar hotel berbintang di Provinsi Riau pada Juni 2025 masih memperlihatkan tren stagnan, bahkan cenderung menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau mencatat Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hanya sebesar 44,46 persen, turun tipis 0,13 poin dibandingkan bulan sebelumnya, dan turun lebih dalam 3,56 poin dibandingkan Juni 2024.

Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh kamar hotel berbintang di Riau kosong setiap malamnya, selama satu bulan penuh.

“Jika TPK besar dan mendekati 100 persen, berarti sebagian besar kamar berhasil dijual. Namun pada Juni 2025, angka TPK di Riau justru mengalami penurunan 0,13 poin dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 44,72 persen,” ujar Kepala BPS Riau, Asep Riyadi saat perilisan BPS, Jumat (1/8/2025).

Bahkan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tren penurunan semakin nyata. Pada Juni 2024, TPK masih tercatat 48,02 persen. Artinya, dalam setahun terakhir daya tarik dan pergerakan tamu di hotel-hotel berbintang Riau menurun cukup signifikan.

Tamu Menginap Singkat, Perputaran Ekonomi Terbatas

Lebih mengkhawatirkan lagi, data menunjukkan bahwa mayoritas tamu hanya menginap selama satu hingga dua malam. Rata-rata lama menginap tamu (RLMT) pada Juni 2025 hanya 1,34 hari, naik tipis dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,32 hari.

Khusus untuk tamu domestik, rata-rata lama tinggal tercatat hanya 1,33 hari, dan untuk tamu asing 2,50 hari. Meskipun ada kecenderungan tamu asing menginap lebih lama, namun secara umum hotel-hotel di Riau belum menjadi destinasi penginapan yang berdaya saing tinggi.

Jika dirinci lebih jauh, RLMT tamu asing paling lama terjadi di hotel bintang tiga dengan 2,73 hari, sementara tamu domestik menginap terlama di hotel bintang empat dengan 1,42 hari. Itu pun belum menyentuh angka dua hari penuh.

Penurunan TPK dan singkatnya masa inap tamu menyiratkan dua persoalan serius. Pertama, belum optimalnya promosi dan paket wisata daerah. Kedua, minimnya kegiatan atau acara yang mampu menarik tamu untuk tinggal lebih lama di Riau.

Apalagi, hotel bintang tiga yang memiliki TPK tertinggi pun hanya mencatat okupansi sebesar 51,49 persen. Artinya, meskipun segmen ini relatif diminati, namun setengah kapasitas kamar tetap kosong setiap malamnya.

Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, dan asosiasi perhotelan untuk tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga mendorong peningkatan konten dan event pariwisata yang konsisten dan berkelanjutan.

Tanpa perbaikan strategi pemasaran pariwisata dan pembukaan akses kegiatan berskala regional maupun nasional, sektor perhotelan Riau dikhawatirkan akan terus berjalan di tempat, bahkan mungkin mundur di tengah persaingan daerah lain yang semakin gencar menawarkan destinasi unggulan.(***)